Integrito : Edisi Januari-Februari 2010: “Si Penghubung”: Antara Ada dan Tiada |
Dikirim oleh humas pada 2010/11/15 14:10:18 (97 Pembaca) |
Entahlah, apakah kita sedang dicekam sindrom Italia atau tidak. Tak ada yang tahu. Yang jelas, belakangan hari istilah mafia semakin akrab saja di telinga, untuk menyebut kata-kata yang sesungguhnya tak nyaman didengar: mafi a hukum!
Ya, kata “mafia“ pada “mafi a hukum“ tentu tidak diadopsi dari Bahasa Melayu. Mafi a, yang juga dirujuk pada La Cosa Nostra, merupakan panggilan kolektif untuk beberapa organisasi rahasia di Sisilia dan Amerika Serikat. Mafia, awalnya merupakan nama sebuah konfederasi untuk tujuan perlindungan dan penegakan hukum dengan cara main hakim sendiri. Seiring perkembangan waktu, konfederasi ini kemudian mulai melakukan kejahatan terorganisasi. |
|
Integrito : Edisi November 2009: Pahlawan Antikorupsi! |
Dikirim oleh humas pada 2010/3/4 9:50:00 (672 Pembaca) |
Dalam masyarakat yang majemuk, kita kerap dihadapkan pada kondisi nihilisme yang kronis, yang antara lain direpresentasikan dengan terlampau permisifnya masyarakat terhadap berbagai korupsi. Lihat saja, betapa masyarakat masihmengangkat topi bagi koruptor, hanya lantaran sikapnya yang dermawan, yang kerap memberi sumbangan bagi masyarakat sekitar. Menurut Friedrich Nietzche, nihilisme merupakan keadaan tanpa makna, yang merupakan akibat dari kehilangan kepercayaan akan nilai-nilai yang selama ini diyakini. Memang masyarakat masih memiliki jargon nilai, visi, dan misi. Namun semua itu hanya sebuah harapan, bukan realita yang ada. “Berantas korupsi! Enyahkan korupsi dari Indonesia!“ jargon-jargon itu kerap kita dengar, bukan? Namun apa implementasinya? Nyaris tak ada, dan itulah nihilisme.Nah, dalam kondisi seperti inilah kita membutuhkan pahlawan antikorupsi. Tidak hanya untuk meruntuhkan nihilisme itu sendiri, namun juga terhadap korupsi negeri ini. Siapa mampu? Untuk mengunduh majalah Integrito edisi November 2009, silahkan klik disini. |
|
Integrito : Edisi Desember 2009: Jejak Langkah 2009 |
Dikirim oleh humas pada 2010/3/4 9:50:00 (449 Pembaca) |
Merefleksi diri, selayaknya ketika kita sedang bercermin, senantiasa dibutuhkan setiap saat. Tak terkecuali, ketika hari-hari dalam almanak sudah menjelang penghabisan. Melalui refl eksi diri, maka kita bisa mengevaluasi, apa sebenarnya yang dilakukan pada detik demi detik yang telah berlalu. Apakah berbagai keburukan atau kebaikan? Apakah kita sudah menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama, atau justru menjadi serigala bagi manusia lain, seperti ungkapan homo homini lupus? Semua akan terekam dengan jelas, seperti kita sedang bercermin. Lantas, bagaimana agar kita bisa merefl eksi diri dengan utuh dan agar tidak terkecoh dengan keadaan? Tak ada yang bisa dilakukan, kecuali melakukannya dengan nurani yang bersih. Katakanlah apa adanya, sepahit apapun. Jangan menyebut penyuapan sebagai bentuk perhatian kepada sesama. Jangan pula memelesetkan, gratifikasi adalah wujud rasa hormat kepada pejabat yang sudah bersusah payah mengabdikan dirinya. Jika itu tetap dilakukan maka peribahasa, “Buruk rupa cermin dibelah,“ akan berlaku di sini. Semoga, ke depan akan lebih baik bagi kita semua. Untuk mengunduh majalah Integrito edisi Desember 2009 ini, silakan klik di sini . |
|
Integrito : Edisi Oktober 2009: Reformasi Birokrasi Hukum, Apa kabar? |
Dikirim oleh humas pada 2010/3/4 9:40:00 (430 Pembaca) |
Kita bisa melihat, betapa banyak ketidakjujuran di negeri ini. di Indonesia pun banyak ditemui berbagai paradoks. Kita dikenal sebagai bangsa agamis yang memiliki masjid-masjid megah, namun kejahatan terjadi di mana-mana. Korupsi merajalela, ketidak-jujuran seperti membudaya dalam kehidupan kita. Seperti pepatah Latin, “Homo homini lupus,“ manusia menjadi srigala bagi manusia lainnya. Sungguh memprihatinkan! Lantas, bagaimana memulai memerangi paradoks tadi, terutama dalam konteks pemberantasan korupsi? Tak ada jalan lain, kecuali dari diri sendiri. Entah secara pribadi, lembaga, maupun bangsa. Salah satunya yang bisa dilakukan adalah melalui reformasi birokrasi. Dalam tataran kelembagaan, terutama lembaga hukum, upaya ini bisa dianggap efektif. Mengapa? Karena tidak selamanya lembaga hukum mengedepankan langkah represif.Pada saat bersamaan, dia harus pula menata birokasi yang ada, antara lain melalui peningkatan pelayanan kepada publik. Melalui langkah-langkah simultan seperti itu, diyakini upaya untuk memberantas korupsi akan lebih mudah ketimbang sekadar menghukum dan memenjarakan para koruptor. So, siapkah kita semua melakukan reformasi birokrasi? Indonesia dikenal sebagai negara dengan berjuta paradoks. Perlu kearifan dalam bersikap. Untuk mengunduh majalah Integrito edisi Oktober 2009, silahkan klik disini . |
|
Integrito : Edisi September 2009: Menjaga Kode Etik |
Dikirim oleh humas pada 2010/3/4 9:30:00 (434 Pembaca) |
KPK tidak hanya dituntut untuk bisa memberantas korupsi di berbagai lini, namun juga diharapkan dapat membentengi diri sendiri (self protect), agar martabatnya sebagai sang pemberantas korupsi, bisa terjaga. Mampukah KPK? Mengapa tidak. Salah satu cara adalah dengan menjaga kode etik secara ekstra ketat, kapan pun dan di mana pun. Dengan menjaga kode etik, maka KPK bisa terlindungi dari berbagai konfl ik kepentingan yang berpotensi merongrong kewibawaan lembaga ini. Dengan menjaga kode etik pula, maka KPK bisa memelihara nilai-nilai luhur yang dimilikinya, sebagai bekal dalam menopang tugasnya yang mahaberat tersebut.Begitulah. Jika setiap insan KPK bisa melakukannya berdasarkan prinsip zero tolerance, maka tak ada lagi noda yang dapat mencoreng wajah KPK. Dan, muaranya, apalagi kalau bukan kinerja yang semakin meningkat, waktu demi waktu. Untuk mengunduh majalah Integrito edisi September 2009, silahkan klik disini. |
|
|